Minggu, 14 Agustus 2011

Pernikahan


  BAB I
PENDAHULUAN

Nikah atau perkawinan adalah sunnatullah pada hamba-hambaNya. Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan.
Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan manusia saja, tapi juga di dunia binatang. Allah Ta’ala berfirman:
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ    
Artinya:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (Q.S. Adz-Zariyat : 49)























BAB II
PERNIKAHAN

A.    Pengertian Nikah
Nikah menurut bahasa berarti percampuran atau mengumpulkan atau menyatukan. Diartikan juga sebagai akad atau bersetubuh. Al-Fara’ berkata: “AN-NUKH adalah sebutan untuk kemaluan, dan disebut akad adalah karena ia merupakan penyebab terjadinya kesepakatan itu sendiri”. Sedangkan Al-Farisi berkata : “Jika mereka mengatakan bahwa si pulan atau anaknya fulan menikah, maka yang dimaksud adalah mengadakan akad. Akan tetapi jika dikatakan, bahwa ia menikahi istrinya, maka yang dimaksud adalah bersetubuh.”
Sedangkan menurut syara’ nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan suami istri dengan lafadz nikah atau tazwij atau arti dari keduanya dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian yang luas pernikahan adalah merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang (laki-laki dan perempuan), untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam.[1]

B.     Hukum Nikah
Hukum nikah ada lima, yaitu:
a.      Wajib
Seseorang yang sudah ada keinginan, ada kemampuan membiayai perkawinan dan rumah tangga, sedangkan bila tidak menikah akan dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinahan maka hukum nikah baginya adalah wajib.
Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa :3 “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata Nabi Muhammad bersabda:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءه فليتزوّج فإنّه أغضى للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصّوم فإنه له وجاءٌ.
Yang artinya :    “Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu mampu (menanggung) biaya, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu dapat menutup pandangan mata (pada maksiat) dan dapat memelihara kehormatan, dan barang siapa tidak sanggup hendaklah berpuasa, karena berpuasa itu dapat melemahkan syahwat.”
b.      Sunnat
Seseorang yang sudah ada keinginan, ada kemampuan tetapi ia masih sanggup memelihara diri dari berbuat zina, maka hukum nikah baginya adalah sunnat.
Menikah baginya lebih baik daripada menahan diri seperti pendeta. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tabrani dari Sa’id nbin Abi Waqash. ia berkata bahwa Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita.”
c.       Makruh
Seseorang yang sudah ada keinginan menikah, akan tetapi ia tidak sehat jasmani seperti sakit-sakitan terus menerus atau lemah syahwat dan lain-lain dan ia tidak mampu memberi nafkah walaupun ia tidak merugikan istri, maka hukum nikah baginya adalah makruh.
d.      Haram
Seseorang yang tidak ada kemampuan memberikan nafkah, baik lahir maupun batin. Serta nafsunya tidak terdesak atau bila perkawinan ini akan mendatangkan penderitaan dan teraniaya istri, artinya ia menikah hanya untuk berniat menyakiti sang istri, maka hukum menikah baginya adalah haram.
e.       Mubah
Seseorang yang merasa terdesak oleh alas an yang mewajibkan segera menikah atau alas an yang mengharamkan nikah, maka hukum nikah baginya adalah mubah (boleh).[2]

C.    Anjuran Menikah
Islam menganjurkan umatnya untuk menikah, karena dalam pernikahan atau berumah tangga terdapat kemaslahatan-kemaslahatan dan manfaat-manfaat yang bisa dirasakan oleh individu maupun masyarakat.
Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 3, yang artinya : “Maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi, dua tiga dan empat. Tetapi kalau kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (antara perempuan-perempuan itu) hendaklah satu saja.”
Dan Allah SWT berfirman dalam surah An-Nuur : 32, yang berbunyi:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4
Artinya:  “Dan kawinilah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”
Adapun tentang ijma’, para ulama disepanjang sejarah Islam telah sepakat atas disyari’atkannya pernikahan.
Pernikahan merupakan ibadah yang dengannya seseorang telah menyempurnakan setengah dari agamanya serta akan memenuhi taqwanya kepada Allah dalam keadaan suci dam bersih.[3]

D.    Tujuan Nikah
Secara rinci tujuan nikah adalah sebagai berikut:
a.       Memenuhi Kebutuhan (Syahwat)
Sudah menjadi tabiat kemanusiaan, bahwa setiap manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dilengkapi naluri yang demikian kuat. Apabila naluri seks ini tidak ada jalan keluarnya, maka akan dapat menimbulkan masalah yang serius. Masing-masing orang akan mencari pemuasan naluri seks dengan caranya sendiri-sendiri.
b.      Memelihara dan Mengembangkan Keturunan
Pernikahan yang saha akan menjaga dan memelihara keturunan terhindar dari kekacauan keturunan. Dan akan memudahkan pemecahan persoalan yang dihadapi seperti dalam penentuan wali nikah. Pembagian warisan dan lain sebagainya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW berasabda: “Kawinlah dengan perempuan pecinta lagi beranak banyak agar nanti akan dapat membanggakan jumlahmu yang banyak dihadapan para Nabi pada hari kiamat.”
c.       Menyambung Silaturrahmi
Suatu pernikahan merupakan salah satu sarana yang sangat baik guna menyambung tali silaturrahmi antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya, atau untuk merekatkan hubungan kekeluargaan yang hubungannya sudah jauh.[4]

E.     Hikmah Nikah
Hikmah nikah dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a.       Hikmah nikah bagi yang menjalani, yaitu:
-          Memenuhi hajat tabiat (biologis)
-          Dapat menghasilkan kesenangan hubungan seksual laki-laki dan wanita secara sah dan membuat ketenangan bagi diri seseorang bagi suami istri dengan jalan yang halal.
-          Menghasilkan keturunan anak yang sah yang akan menegakkan keturunan seseorang dan memelihara suku seseorang.
-          Dapat terbentuk suatu rumah tangga yang bahagia, damai, tentram, serta kekal disertai rasa kasih saying antara suami istri.
-          Menjaga akhlak dari keruntuhan dan kehancuran, sehingga dapat terpelihara dari perbuatan maksiat.
b.      Hikmah nikah bagi masyarakat, khususnya umat Islam, yaitu:
-          Perkawinan merupakan salah satu saat ibadah bagi umat Islam
-          Untuk menyempurnakan agama
-          Perkawinan memelihara ketinggian martabat wanita
-          Hasil yang diperoleh dari perkawinan ini berupa hubungan antara keluarga dan eratnya ikatan kasih saying diantara keluarga khususnya dan diantara masyarakat Islam umumnya.
-          Memberi kepada masyarakat Islam keturunan yang shahih dan generasi yang terididik dengan baik.
-          Memelihara umat manusia agar tetap sehat sentosa.[5]

F.     Macam-macam Pernikahan Yang Terlarang
Adapun pernikahan yang terlarang / yang dilarang itu ada empat:
a.       Nikah Mut’ah
Yaitu nikah yang dilakukan seseorang dengan tujuan semata-mata untuk melepaskan hawa nafsunya dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Pernikahan ini lebih dikenal dengan sebutan kawin sementara atau kontrak.
Nikah muth’ah ini dilarang karena dilakukannya hanya untuk waktu yang terbatas dan tujuannya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yang disyariatkan. Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Rasul SAW tetapi kemudian dilarang untuk selama-lamanya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Salamah bin Al-Akwa’ ra, ia berkata : “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW pernah membolehkan perkawinan mut’ah pada (peperangan) Authas selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya.”
Keempat mazhab telah bersepakat bahwa pernikahan mut’ah hukumnya haram. Hubungan yang dinikahinya juga menjadi hubungan perzinahan.
b.      Nikah Syighar (kawin tukar)
Yaitu wali bagi seorang wanita menikahkan yang ia wali’i kepada laki-laki tanpa maskawin, dengan perjanjian bahwa laki-laki lain itu akan memberi imbalan yaitu mau mengawinkan wanita dibawah perwaliannya kepadanya tanpa mas kawin juga.
Dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu umar ra, ia berkata : “sesungguhnya Nabi Muhammad SAW melarang syighar dalam akad perkawinan. Syighar adalah mengawinkan seorang dengan anak perempuannya, akan tetapi dalam pertunangan kedua mempelai tidak disertai dengan maskawin. Dan disebutkan pula dalam hadits lain, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak ada (tidak berlaku) syighar dalam Islam.”
Maka sudah jelaslah, bahwa nikah syighar itu dilarang oleh agama dan hukumnya adalah haram. Dan apabila pernikahan itu benar-benar terjadi. Para pelakunya harus dipaksakan untuk bercerai.[6]
c.       Nikah Muhallil (nikah untuk menghalalkan)
Yaitu nikah yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk menghalalkan wanita yang dinikahinya bagi bekas suaminya yang telah mentalak tiga, untuk kawin lagi. Wanita yang telah ditalak tiga tidak boleh kawin lagi dengan bekas suaminya yang telah mentalak tiga itu, kecuali kalau sudah diselingi perkawinan dengan laki-laki lain dan telah disetubuhinya.
Larangan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata: “sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah mengutuk terhadap orang laki-laki yang menghalalkan dan yang dihalalkan.”
d.      Nikah antara Agama
Menikah dengan orang yang tidak seagama itu dilarang. Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah : 221:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sãƒ...
Yang artinya:
“Dan Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min)sebelum mereka beriman …”
Dan Firman-Nya yang lain dalam surat An-Nisa’ : 141, yang artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir (musyrik) untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Jadi jelas bahwa wanita muslimah sama sekali tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki musyrik, begitu pula sebaliknya. Seorang laki-laki itu dilarang untuk menikahi seorang wanita yang beragama nasrani, tetapi alangkah baiknya bila ia itu menikahi seorang wanita yang sama-sama muslim dan menjauhkan diri dari beristri dengan wanita yang tidak seagama.[7]

G.    Wanita Yang Haram Dinikahi (MUHARRAMAT)[8]
Wanita-wanita yang haram dikawini oleh seseorang, ada dua macam: haram dinikahi untuk selama-lamanya, dan haram dinikahi untuk sementara.
A.    Adapun yang haram dinikahi untuk selama-lamanya, adalah wanita-wanita yang disebabkan oleh sebab-sebab berikut:
  1. Kerabat : Ada tujuh wanita yang menurut Firman Allah SWT haram dikawini seseorang, karena masih banyak kerabat, yaitu:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ..."
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan. Saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki dan anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” (Q.S. An-Nisa : 23)
  1. Tunggal susu : Yang diharamkan tunggal susu, ada dua orang wanita, yaitu ibu yang menyusui dan saudara perempuan karena tunggal susu, karena Allah Ta’ala menfirmankan (kelanjutan ayat di atas):
ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$#
Artinya:
“… Ibu-ibumu yang menyusukan kamu dan saudara perempuan sepersusuan”.
  1. Perkawinan : Ada empat wanita yang diharamkan karena perkawinan, yaitu : Yang pertama, ibunya isteri (mertua), sekalipun baru mengadakn akad dengan anaknya, dan belum sempat bersetubuh kemudian bercerai kelanjutan ayat di atas mengatakan:
وَاُمَّهَتُ نِسَآءِكُمْ
Artinya:“… dan ibu-ibu isterimu (mertua)...”.
Kedua, anak isteri, yakni anak tiri yang diperolehnya dari suami lain. Hanya pengharaman di sini adalah apabila sudah sempat bercampur dengan ibu mereka. Lanjutan ayat tadi:
ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ
Artinya:  “Dan anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu (yakni) dari isteri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya...”
Ketiga, isteri ayah, dan begitu pula isteri kakek, baik dari pihak ayah maupun ibu, baik karena nasab maupun persusunan. Firman Allah Ta’ala (Q.S. An-Nisaa : 22):
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä šÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# ...
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.”
Keempat, isteri anak, juga isteri cucu dan seterusnya kebawah, baik karena nasab maupun persusunan. Pada kelanjutan surat An-Nisaa ayat 23 di atas. Allah Ta’ala berfirman:
ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r&
Artinya:  “…(Dan diharamkan kepadamu mengawini) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)…”
B.     Adapun wanita yang haram dikawin untuk sementara adalah wanita-wanita yang kalau dikawini juga maka akan berkumpul dengan kerabatnya sendiri seperti kalau ada seorang lelaki mengawini sekaligus seorang wanita bersama dengan saudara perempuannya, baik saudara karena nasab maupun perususunan. Kelanjutan ayat di atas menegaskan:
br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3
Artinya: “…(dan diharamkan pula) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.”
Bahkan menurut sebuah hadits:
مَلْعُوْنٌ مَنْ جَمَعَ مَاءَهُ فِى رَحِمَ اُخْتَيْنِ
Artinya:
“Terkutuklah laki-laki yang memasukkan air maninya kedalam rahim dua orang perempuan bersaudara sekaligus.”

H.    Hal-hal Yang Disukai pada diri Seorang Calon Isteri dan Memilih Calon Suami
Paling sedikit, ada delapan sifat yang seyogianya tercakup dalam diri seorang istri demi kelestarian serta kebahagiaan hidup berkeluarga, semuanya ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1.      Ketaatan Beragama
Pertama, tentang keberagamaannya. Hendaknya ia seorang wanita shalihlah yang kuat kesadaran keberagamaannya. Inilah sifat pokok yang harus menjadi pusat perhatian utama. Sebabnya ialah sekiranya ia seorang yang lemah keberagamaannya (atau ketakwaannya) dalam hal menjaga kebersihan diri dan kehormatannya maka ia akan mendatangkan kenistaan dan aib pada diri suaminya nama sang suami aka tercemar dan hatinya dan hatinyapun akan menjadi kacau karena curiga dan cemburu, sedemikian sehingga hidupnya pasti jauh dari ketenangan.
2.      Akhlak Mulia
Akhlak mulia pada diri seorang istri merupakan pokok amat penting dalam upaya memperoleh ketenteraman hati serta dalam pelaksanaan perintah-perintah agama. Sebabanya ialah, apabila seorang istri memiliki sifat culas, gemar mencerca, tidak suka berterima kasih dan berbagai sifat buruk lainnya, maka mudarat yang timbul darinya pasti lebih besar dari manfaatnya.
3.      Kecantikan Wajah
Kecantikan wajah juga merupakan sesuatu yang diingini dan dicari. Ia merupakan salah unsur penting dalam upaya menjaga diri bagi seorang suami, mengingat bahwa pada galibnya, seorang laki-laki tidak merasa puas dengan istri yang berparas buruk. Memang tak dapat disangkal bahwa kecantikan seorang istri sering kali merupakan pendorong timbulnya kemesraan dan kecintaan.[9]
4.      Keringanan Maskawin
Diantara sifat istri yang diingini ialah yang ringan mahar (maskawin) nya. Sabda Rasulullah SAW:
"خَيْرُ النِّسَاءِ اَحْسَنُهُنَّ وُجُوْهًا وَاَرْحَصُهُنَّ مُهُوْرًا"
Artinya:  “sebaik-baik wanita (istri) ialah yang tercantik parasnya dan termurah maharnya”.
Umar r.a. melarang pembayaran mahar yang tinggi. Katanya : “Tidak pernah Rasulullah SAW kawin ataupun mengawinkan putri-putrinya dengan mahar lebih dari empat ratus Dirham.”
5.      Kesuburan Calon Istri
Hendaknya memilih calon istri yang subur. Dan jika diketahui bahwa ia seorang yang mandul, sebaiknya tidak mengawininya. Sabda Nabi SAW:
عَلَيْكُمْ بِالْوَلُوْدِ الْوَدُوْدِ
“Kawinilah wanita yang subur dan yang penuh kasih sayang.”
Apabila belum diketahui keadaannya karena belum pernah kawin, hendaknya diamati kesehatan tubuhnya serta keremajaan usianya. Kedua sifat ini pada galibnya, merupakan indikasi kesuburan dseorang wanita.
6.      Keperawanan
Calon istri hendaknya seorang gadis (perawan). Ketika Jabir r.a melaporkan kepada Nabi SAW bahwa ia baru saja mengawini seorang janda, beliau berkata : "هَلْ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ"
“Mengapa tidak mengawini seorang gadis yang engkau dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu?”
7.      Keturunan Yang Baik-baik
Hendaknya calon istri berasal dari keturunan keluarga baik-baik. Yakni mereka yang memegang teguh agamanya dan menjaga akhlaknya. Seorang istri adalah pendidik utama bagi putra-putrinya. Jika ia sendiri tidak terdidik dalam adab dan kesopanan, besar kemungkinan bahwa ia tidak akan mampu mendidik mereka dengan baik.


8.      Tidak Berasal dari Kerabat Amat Dekat
Hendaknya ia bukan seorang yang amat dekat kekerabatannya (dengan calon suami). Yang demikian itu dapat mengakibatkan melemahnya dorongan syahwat terhadapnya. Adapun kuatnya syahwat seorang hanya akan bangkit dengan adanya kuat perasaan, baik karena pandangan ataupun rabaan. Sedangkan kesan dan perasaan akan menguat dengan adanya sesuatu yang baru dan tidak biasa.[10]
Adalah wajib atas seorang wali (ayah atau anggota keluarga lainnya yang bertanggung jawab atas diri seorang wanita) menilai dengan seksama sifat-sifat yang disandang oleh seorang calon suami. Hendaknya si wali memilihkan yang terbaik bagi putrinya. Jangan sekali-kali mengawinkannya dengan seseorang yang buruk rupa atau perilakunya, lemah agamanya atau dikhawatirkan tidak mampu memikul tanggung jawabnya sebagai seorang suami yang baik. Rasulullah SAW pernah bersabda:
النِّكَاحُ رِقٌّ فَلْيَنْظُرْ اَجَلُ كُمْ اَيْنَ يَضَعُ كَرِيْمَتَهُ
“Ikatan perkawinan nyaris seperti ikatan perbudakan maka hendaknya kamu berhati-hati dimana akan meletakkan anak perempuanmu sendiri.”
Bahkan sikap hati-hati dan waspada lebih amat penting dalam kaitannya dengan seorang anak perempuan. Sebab, dia-lah yang akan menjadi seperti budak dengan ikatan perkawinan itu, dan tidak mudah baginya melepaskan diri baginya. Adapun seorang suami, lebih memiliki hak menceraikan istrinya dalam berbagai keadaan.[11]

I.       Rukun Nikah
Pernikahan dianggap sah, bila memenuhi rukun dan syarat menurut agama. Adapun rukun-rukun nikah adalah sebagai berikut:
a.       Pengantin Laki-laki
Syarat-syaratnya:
-          Beragama Islam
-          Tidak dipaksa
-          Bukan mahram
-          Tidak sedang melaksanakan ibadah haji dan umroh
b.      Pengantin Perempuan
-          Beragama Islam
-          Bukan mahram
-          Tidak sedang melakukan umroh dan haji
c.       Wali
Syarat-syaratnya:
-          Beragama Islam
-          Baligh
-          Berakal sehat
-          Adil
-          Laki-laki
-          Mempunyai hak menjadi wali.[12]
Di dalam hukum Islam walaupun seseorang telah memenuhi syarat-syarat menjadi wali, tetapi belum dapat menjadi wali perkawinan kalau tidak termasuk pada macam-macam wali. Ada tiga macam wali pada perkawinan Islam, ialah:
1.      Wali Nashab, adalah wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita baik vertikal maupun horisontal.
2.      Wali Hakim, adalah wali yang ditugaskan oleh kepala negara yang beragama Islam untuk menikahkan seorang wanita dengan seorang laki-laki pilihannya. Kalau wanita itu yatim piatu yang tidak mengetahui dan diketahui asal keturunannya, maka hukum Islam menegaskan bahwa wali perkawinannya ialah kepala negara. Tetapi sebagai seorang kepala negara, tidak mungkin setiap hari menikahkan wanita disetiap bagian wilayah negaranya. Karena itu ditetapkan sebagai wali pengganti dan berwenang ialah pejabat kantor Urusan Agama.
3.      Wali Muhakkam, adalah seorang yang ditunjuk yang dipercayakan oleh kedua belah pihak (calon suami-istri) untuk menikahkan ditempat itu asal memenuhi syarat.
Penunjukan itu dilakukan dalam keadaan darurat artinya tidak diperoleh wali nasab dan tidak mungkin dihubungi atau tidak ada wali hakim.[13]
d.      Dua orang saksi
Syarat-syaratnya:
-          Beragam Islam
-          Baligh
-          Berakal sehat
-          Adil
-          Laki-laki
-          Mengerti maksud ijab qabul.
e.       Ijab qabul
Syarat-syaratnya:
-          Lafadz yang dipakai dalam ijab qabul adalah kata : Nikah, zawaj atau kawin.
Umpama:
Ijab dari wali pengganti perempuan:
“Saya nikahkan atau kawinkan kamu dengan anakku yang bernama Rika binti Riduan dengan maskawin seperangkat alat shalat dan uang sejumlah 100.000 rupiah tunai atau hutang.

J.      Cacat-cacat yang menyebabkan bolehnya pembatalan perkawinan (fasakh)[14]
Wanita boleh dikembalikan lagi kepada keluarganya karena mengidap salah satu dari lima cacat, yaitu: Gila, lepra, sopak, lubang kemaluan mampet (rataq) ataupun terdapat di dalamnya tulang (qarn) yang mengganggu persetubuhan.
Sebaliknya, laki-lakipun boleh ditolak dengan lima cacat: Gila, lepra, sopak, batang zakar putus ataupun tak berdaya (impoten). Karena dengan pernikahan dimaksudkan agar hubungan bisa lenggang sedang dengan adanya penyakit-penyakit tersebut kesenangan bersama tak bisa dicapai.
Cacat-catat tersebut di atas, diantaranya ada yang menyebabkan tak bisa melakukan senggama sam sekali, seperti zakar yang terpotong dan impoten pada laki-laki, atau mampetnya lubang kemaluan dan qarn pada perempuan. Dan adapula yang mengganggu pikiran sehingga persetubuhan tidak bisa dilakukan dengan sempurna, seperti gila, lepra dan sopak. Mak di sini dipersilahkan memilih, apakah perkawinan akan diteruskan atau tidak, agar semua itu tidak menimbulkan bahaya pada kedua belah pihak yang tiada kesudahannya. Karena Islam tentu tidak menghendaki bahaya ataupun hal-hal yang menimbulkan bahaya:
لاَ ضِرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
K.    Maskawin (Mahar)[15]
Maskawin (mahar) adalah pemberian seorang suami kepada istri disebabkan terjadinya pernikahan diantara keduanya, baik itu berupa uang atau barang (harta benda) atau jasa.
Pemberian maskawin hukumnya wajib bagi laki-laki, tetapi tidak termasuk rukun nikah, sehingga tidak disebutkan sewaktu akan nikah, maka perkawinan tetap sah.
Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa : 4, yang artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan sepenuh kerelaan.



















BAB III
KESIMPULAN

Pernikahan merupakan acara yang sakral yang mana ini hanya akan dilaksanakan dalam seumur hidup sekali kecuali beberapa faktor yang akan menyebabkan untuk orang yang telah mengadakan perkawinan itu untuk menikah lagi, seperti: perceraian akibat masalah dalam keluarga yang tidak berkesudahan serta kematian.
Telah dijelaskan beberapa konsep pemikiran dalam Islam sebagaiman di atas atau terdahulu sebelum ini.
Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi pemakalah. AMIN...














DAFTAR PUSTAKA

Al-Baqir, Muhammad. 1999. Menyingkap Hakikat Perkawinan (Terjemahan Kitab Adab An-Nikah Karya Al-Ghazali). Bandung : Karisma.

Djamali, R. Abdul. 1992. Hukum Islam. Bandung : Mandar Maju

Mz., Ust. Labib 2007. Konsep Perkawinan dalam Islam. Surabaya : Putra Jaya

Sitanggal,Umar anshori. 1986. Fiqh Wanita (terjemahan فقه المداة المسلمة) Semarang : CV. Asy-Syifa


[1] Ust. Labib MZ. Konsep Perkawinan Dalam Islam. (Surabaya : Putra Jaya, 2007). Hal. 8-9
[2] Ibid,. h. 9-11
[3] Ibid,. 11-12
[4] Ibid,. h. 12-14
[5] Ibid,. h. 14-15
[6] Ibid,. h. 17-19
[7] Ibid,. h. 19-20
[8] Anshari Umar Sitanggal. Fiqih Wanita (Terjemahan فقه المرة المسلمة). (Semarang : CV. Asy-Syifa, 1986) h. 376-379
[9] Muhammad Al-Baqir. Menyingkap Hakikat Perkawinan (TerjemahanKitab Adab an-Nikah karya Al-Ghazali). Bandung : Karisma. 1999). h. 68-73
[10] Ibid,. h. 77-81
[11] Ibid,. h. 82
[12] Ust. Labib MZ. Op.Cit,. h. 22-23
[13] R. Abdul Djamali. Hukum Islam. (Bandung : Mandar Maju. 1992). h. 83-86
[14] Anshori Umar Sitanggal. Op. Cit., h. 380
[15] Ust. Labib Mz.  Op. Cit., h. 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar